SEJARAH KAMBING PE MASUK KE INDONESIA
JAMUNAPARI = JAMNAPARI = ETAWA
PERANAKAN ETAWA = PE
call me 082244456879 selling organic goat milk in Bali
call me 082244456879 selling organic goat milk in Bali
Tiada batas desa, batas kota, batas negara yang bisa membendung keingin tahuan saya. India yang sama sekali tidak pernah menarik untuk saya kunjungi, ahirnya menjadi negara yang sangat menarik untuk di datangi karena saya duga dinegara inilah asal usulnya Kambing PE.
Dimulai dari New Dehli, dilanjutkan dengan surfer di dunia maya kesana kemari. Ahirnya harus saya akui bahwa India beserta masyarakatnya, mempunyai kebudaya-an yang luar biasa mengagumkan. Sebut saja salah satu yang sangat populer yaitu TAJ MAHAL di Agra, saya tidak akan pernah tahu, jika saya tidak ingin tahu lebih dalam mengenai Kambing PE.
Peranakan Etawa adalah nama jenis Kambing Perah yang banyak terdapat di Jawa Tengah. Mengapa banyak di Ja-Teng, mengapa namaya Peranakan Etawa kemudian menjadi populer dengan sebutan Kambing PE, sudah banyak yang membahas dan menulisnya menurut versinya masing-masing .
Berikut saya artikel mengenai Kambing Peranakan Etawa
Jamunapari sangat terkenal sebagai Kambing Perah terbaik di India, ditempat asalnya kambing ini biasa di sebut sebagai “Pari”. Daerah asalnya adalah di Cakarnagar (mirip Cakranagara), yg beada di District ETAWAH, Negara Bagian Utar Prades. Habitatnya di sepanjang daratan (delta) antara sungai Jamuna dan Sungai Cambal. Dan juga di sepanjang sungai Kwari di Districk Bhind, negara bagian Madya Prades, yang berada di sebelah timur kota Dehli (deket Taj Mahal) merupakan tempat asalnya kambing PE.
Karena di India namanya bukan kambing Etawah tapi Jamunapari, yang artinya Keanggunan Jamuna.
Jamunapari telah lama menyesuaikan atau beradaptasi dengan tempat habitatnya tersebut di atas, yang sangat subur dan banyak tumbuh hijauan. Akibatnya dia tidak mampu hidup di tempat lainnya, sehingga Jamunapari tidak bisa di temukan di daerah lainnya.
Habitat mereka terbentang antara Districk Etawah kearah timur, menyeberangi sungai Jamuna seluas lebih dari 85.000 hektar. Keadaan tanahnya berlembah lembah dan berjurang jurang dengan kedalaman antara 5 meter sampai dengan 30 meter. Pada musim panas suhu udara bisa mencapai 120F, pada musim dingin 25F, dengan curah hujan kira-kira 30 inchi.
Lembah-lembah tersebut tertutupi oleh padatnya berbagai tanaman hijauan yang sangat subur, yang antara lain: Bajara – Gram – Plum – Babool – Akasia – Hingota – Congkra – Arhar (nama Indonesia-nya saya tidak pernah tahu). Dan semua tumbuhan tersebut sangat tergantung pada curah hujan.
Warna utama Jamunapari yang sangat di dambakan adalah Putih Bersih. Bulunya pendek, kecuali pada bagian paha dan kaki belakang yang berbulu panjang.
Hidungnya melengkung atau bengkok, seperti hidungnya tentara Romawi. Tanduknya menjulang ke atas, pada kambing dewasa panjang tanduknya bisa mencapai 25 cm
Kupingnya terjuntai panjang. Lehernya panjang dan kuat dan selalu lurus tegak. Punggungnya melengkung ke bawah dan sangat kuat. Ekornya pendek , seperti ekor kelinci, dan selalu ngacung ke atas. Kombinasi tampilan tersebut , membuat Jamunapari betul-betul nampak sangat anggun.
Kuping yang menjuntai panjang kebawah, merupakan ciri yang sangat unik dan menjadi dasar perilakunya yang nampak sangat aneh.
Pada anak Jamunapari yang baru berumur sekitar enam bulan, kupingnya bisa mencapai 20 cm panjangnya, sedangkan pada yang dewasa panjangnya bisa mencapai lebih dari 30 cm. Sehingga kupingnya selalu jauh lebih panjang dari pada panjang wajahnya. Pada saat kepala kambing ini menunduk, maka kupingnya akan menyentuh tanah terlebih dahulu sebelum mulutnya menyentuh tanah, bahkan kuping yang panjang tersebut juga akan menutupi kedua belah matanya saat menunduk untuk menggigit rumput yang berada di di tanah.
Rahang atas Jamunapari selalu lebih pendek dari pada rahang bawahnya, orang Bandung nyebutnya “Cameuh”, dokter gigi nyebutnya Brachygnathia. Hal ini juga menjadi ciri utama Jamunapari, yang juga mempersulit bahkan tidak memungkinkan dirinya untuk memakan rumput pendek di tanah.
Kalau anda tidak percaya cobalah , mulut pembaca di Cameuh-kan, lalu coba menggigit permen yang terletak di meja. Jika tidak bisa maka anda sebetulnya sama dengan Jamunapari, walaupun tidak mirip.
Hal ini tentunya menjadi permasalahan tersendiri bagi Jamunapari, sehingga dengan sendirinya Jamunapari lebih merasa nyaman untuk memakan ujung/pucuk rumput yang tinggi, dedaunan di semak-semak atau bahkan dedaunan pada tumbuhan yang tinggi.
Jamunapari yang di pelihara oleh masyarakat setempat, umumnya pada pagi hari di beri pakan konsentrat yg berupa campuran berbgai bijian dan hijauan, kemudian di lepas untuk merumput spanjang hari.
Betina yang hamil tidak di ijinkan keluar kandang untuk merumput, mereka tetap di kandang dengan diberi makanan special untuk ibu hamil, yang terdiri dari bajra, barley, jowar, gandum.
Anakan di biarkan menyusu pada induknya sampai dengan usia tiga bulan. Induk yang menyusui juga mendapat ransum makanan special, agar susunya membesar montok sehingga produksi susunya melimpah
Pada saat lahir berat kambing Jamunapari yang betina sekitar 3Kg, enam bulan -15 Kg, setahun 30 Kg. Sedangkan yang jantan sat lahir beratnya sama dengan yang betina sekitar 3Kg, namun laju pertambahan beratnya sangat pesat yaitu 1Kg/minggu sampai dengan usia 3 bulan, kemudian 1Kg /sepuluh hari. Pejantan Jamunapari bisa mencapai berat lebih dari 40 Kg pada usia setahun
Betina mulai hamil pada usia 18 bulan , dan melahirkan untuk pertamakalinya pada usia 23 bulan. Umumnya beranak kembar, namun beranak tiga ataupun empat sering juga terjadi.
Pemilihan bibit untuk indukan harus melalui beberapa kriteria yang rumit dan susah untuk saya fahami, walaupun sama sekali tidak bermuatan magic atau voodoo, hanya mereka yang mengetahui dan menyepakati persyaratan tersebut.
Yang pertama adalah warna harus putih bersih, dan ini tak bisa di tawar-tawar lagi.
Pejantan harus berasal dari Ibu yang sudah berumur tua, dan tidak boleh dari kelahiran pertama kedua dan ketiga, jadi harus dari kelahiran ke empat atau lebih.
Tanduk tidak boleh yang lurus, tapi harus melengkung ke atas, melengkung kebawah juga tidak boleh.
Bulu harus pendek dan bersinar mengkilap, bulu yang di paha dan kakibelakang harus panjang.
Hidung harus melengkung seperti hidung orang romawi, yang jantan harus berjanggut.
Tidak boleh ada warna hitam terutama pada hidung dan kepala.
Jika harus mengikuti persyaratan ini maka tidak ada satupun PE yang memenuhi persyaratan sebagai bibit yang baik, dengan arti kata lain PE sudah tidak di akui lagi sebagai turunan Jamunapari, berarti sudah menjadi jenis atau ras atau strain tersendiri yang berasal dari Indonesia
Pemeliharaan Jamunapari betina dan anakannya menjadi tanggung jawab sepenuhnya kaum wanita dalam keluarga, sedangkan yang jantan menjadi tanggungjawab kaum lelaki dalam keluarga. Dengan sendirinya kaum wanita akan menjadi lebih sibuk, mereka harus menyediakan makanan kambing, memandikan, membersihkan kandang, dll. Para wanita jauh lebih mahir dalam membantu kelahiran kambing, serta menangani ibu dan anaknya paska melahirkan.
Para wanitalah yang sebetulnya memegang peran utama dalam pemeliharaan kambing Jamunapari, kaum lelakinya hanya menangani yang jantan, untuk kemudian nampang bersama kambing jantan peliharaannya pada kontes-kontes yang sering diadakan oleh masyarakat setempat.
Pembelian kambing juga menjadi tanggung jawab kaum lelaki, sedangkan untuk penjualan kaum wanita dan lelaki mempunyai hak suara yang sama. Nah disini keributan sering terjadi, karena para wanita biasanya sangat menyayangi ternak kambingnya, mereka enggan menjualnya kecuali keadaan sangat mendesak. Sedangkan kaum lelaki lebih mengutamakan masalah keuangan, sehingga selalu ingin menjual ternak kambingnya secepat mungkin.
Kemahiran ketekunan keuletan seorang wanita muda dalam memelihara ternak kambing Jamunapari, sangat di hargai dan di puja oleh masyarakat setempat. Terutama oleh kaum lelaki, si wanita tersebut dianggap “pabrik duit” dan “sumber kehormatan”, yang dapat menaikan harkat dan martabat kaum lelaki tersebut. Berikut saduran dari situs yang ada di India:
JAMNAPARI
The name is derived from the location of the breed beyond the river Jamna (Jamna Par) in Uttar Pradesh 1.
a) Distribution. Agra, Mathura and Etawa districts in Uttar Pradesh and Bhind and Morena districts in Madhya Pradesh. However, the pure stocks are found only in about 80 villages in the vicinity of Batpura and Chakar Nagar in Etawa district.
b) Numbers. The total goat population in the Jamnapari distribution area, according to the 1972 census, was 0.58 m. However, officials of the Animal Husbandry Department of Uttar Pradesh state that the total number of pure-bred Jamnapari does not exceed 5 000; these are located mostly in the Chakar Nagar area, between the Jamna and Chambal ravines. There is a serious need for conservation, multiplication and further improvement of the breed, considering the extremely small numbers of pure-bred animals remaining. Jamnapari is one of the largest goats in India; it has been extensively utilized to upgrade indigenous breeds for meat and milk, and has been taken to neighbouring countries for the same purpose.
c) Climate
Average | Range | |
Average monthly temperature (°C) | ||
minimum
maximum | 19.0 32.3 | 7.4–29.5 22.2–41.8 |
Average monthly relative humidity (%) | ||
morning
evening | 60 41 | 30–81 18–75 |
Annual rainfall (cm) | 76.54 |
d) Breed characteristics
i) Size | Adult male | Adult female |
Body weight (kg) | 44.66 ± 1.89 (49) | 38.03 ± 0.63 (168) |
Body length (cm) | 77.37 ± 1.23 (49) | 75.15 ± 0.46 (168) |
Height at withers (cm) | 78.17 ± 1.25 (49) | 75.20 ± 0.38 (168) |
Chest girth (cm) | 79.52 ± 1.2 (49) | 76.11 ± 0.38 (168) |
ii) Conformation. Large animals. There is a great variation in coat colour, but the typical coat is white with small tan patches on head and neck. The typical character of the breed is a highly convex nose line with a tuft of hair, yielding a parrotmouth appearance. The ears are very long, flat and drooping; ear length: 26.79 ± 0.21 cm (216). Both sexes are horned; horn length: 8.69 ± 0.27 cm(108). Tail is thin and short. A thick growth of hair on the buttocks, known as feathers, obscures the udder when observed from behind. The udder is well developed, round, with large conical teats.
JAMNAPARI | |
a) ADULT MALE | b) ADULT FEMALE |
c) TYPICAL HEAD SHOWING PARROT MOUTH | d) FLOCK |
e) Flock structure. The average flock contains 16.0 ± 2.57 individuals (range: 8 to 41), of which 0.25 adult males, 8.65 adult females and 7.1 young.
f) Management and feeding. The flocks, stationary, are maintained primarily on tree loppings, acacia pods and stubble of cultivated crops. Some supplementary feeding (200 to 250 g/day of Arhar and gram) is given to lactating animals. The animals are housed in the courtyard within the living quarters, under a thatched shed with a thorny fence. Most animals are docked. Castration does not take place.
g) Reproduction. In farmers’ flocks: kidding percentage: 124.25 ± 6.05 (12); litter size: singles: 69.0 ± 7.1%; twins: 27.8 ± 6.46%; triplets: 3.2 ± 0.0%. Under farm conditions: age at first kidding (14, 30): 737.0 ± 21.25 days (88); kidding interval (14): 229.3 ± 26.71 days (8); service period (14): 101.4 ± 13.03 days (11); kidding percentage (30): 79.6 (339); litter size (16, 30): singles: 56.2%; twins: 43.1%; triplets: 0.7% (329).
h) Mortality. In farmers’ flocks: young: 5.75 ± 2.5% (10); adults: 4.21 ± 1.97% (12).
i) Breeding. Flocks are pure-bred. Selection in bucks is based on dam’s milk yield.
j) Performance
- Milk. Average lactation yield (30): 201.96 ± 6.65 kg (166); lactation length (30): 191 ± 6 days (116); average daily yield (24): 1.752 ± 0.031 kg (434); dry period (30): 115 ± 3 days. In farmers’ flocks, average daily yield: 2.15 ± 0.30 kg; average lactation length: 255 ± 6.7 days.
- Meat: body weight (kg) (sources: 10, 12, 15, 28, 30, 33)
At birth | 4.27 ± 0.04 (372) |
3 months | 12.11 ± 0.45 (13) |
6 months | 15.56 ± 1.67 (5) |
9 months | 24.00 ± 1.16 (5) |
12 months | 29.65 (100) |
Dressing percentage on pre-slaughter live-weight basis (15): 44.57 ± 1.09 (5) at 6 months, and 48.16 ± 0.91 (5) at 9 months. Bone/meat ratio (25, 33): 1:3.89.
Bagaimana ceritanya Jamunapari bisa sampai di Indonesia:
Orang asing yang pertamakali membawa Jamunapari keluar dari daratan India, adalah bangsa Inggris yang menjajah daratan India pada jaman kolonial dahulu kala. Jamunapari di bawa ke daratan Eropa, kemudian ada yang di kawin silangkan dengan beberapa kambing lokal Inggris, yang sekarang sangat populer dengan sebutan Kambing Anglo-Nubian.
Dari daratan Eropa inilah Jamunapari kemudian menyebar keseluruh penjuru dunia, bersamaan dengan menyebarnya kapal dagang bangsa-bangsa Eropa yang berlayar dan berniaga keseluruh penjuru dunia.
Di Amerika Jamunapari di akui sebagai nenek moyangnya kambing American-Nubian, yang terkenal banyak susunya.
Pada jaman Kumpeni dulu , kapal dagangnya VOC kalau berlayar ke daratan Indonesia selalu datang dalam keadaan kosong ruang kargo nya, ruang kargo yang kosong ini akan di isi muatan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya, untuk kemudian di bawa ke daratan Eropa.
Pada suatu pelayaran kapal dagang VOC dari negara Belanda menuju Pulau Jawa di Indonesia, ada sepasang penumpang bangsa Belanda yang bernama Tuan Hollanda dan Nyonya Netherlandia. Meraka adalah pejabat perkebunan dari Belanda yang akan di tugaskan di Pulau Jawa, sebagai pengawas perkebunan yang biasanya di sebut Tuan Amtenar atau Juragan Kontrol.
Mengetahui kekosongan ruang kargo di kapal tersebut maka pasangan tersebut membawa beberapa pasang Kambing Jamunapari peliharaan kesayangannya, yang tidak ingin mereka tinggalkan di Belanda, sehingga mereka bawa untuk di pelihara di tempat tugasnya yang baru yaitu di Pulau Jawa, tepatnya di perkebunan yang berada di Jawa-Tengah.
Tuan dan Nyonya tersebut selalu menyebut Kambing Peliharaannya sebagai Kambing Asal Etawah, dan selalu memperkenalkan kambingnya kepada masyarakat di Jawa Tengah sebagai Kambing Etawah, dan masyarakat Jawa Tengah menyebutnya dengan nama Kambing Etawa tanpa bunyi dari huruf H. Kambing-kambing tersebut terus beranak pinak , Sampai sekarang anak cucu cicit disebut sebagai PE, yang berarti Peranakan Etawa, atau Perselingkuhan Etawa. Dan mungkin populasi terbanyaknya masih terdapat di tempat tersebut diatas.
Terimakasih dan Salam Hormat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar